Perampasan Aset, Menyeimbangkan Keadilan bagi Korban Korupsi dan Masa Depan Generasi

JAKARTA, uccphilosoph.com – Korupsi telah lama menjadi momok yang menggerogoti perekonomian dan keadilan sosial di Indonesia. Salah satu solusi yang kini kian digaungkan adalah perampasan aset hasil korupsi. Namun, kebijakan ini kerap memicu perdebatan sengit: di satu sisi, ada tuntutan keadilan untuk memulihkan kerugian negara dan rakyat, di sisi lain, muncul pertanyaan tentang nasib keluarga pelaku, terutama anak-anak mereka yang tak bersalah. Artikel ini akan mengupas dilema perampasan aset dari dua perspektif: keadilan bagi korban korupsi dan dampaknya terhadap generasi muda.
Keadilan untuk Korban Korupsi
Perampasan aset dianggap sebagai senjata ampuh untuk memutus rantai korupsi. Ketika pejabat atau pengusaha korup menikmati hasil kejahatannya dalam bentuk rumah mewah, mobil, atau rekening bank yang menggunung, hal ini bukan hanya merugikan negara, tetapi juga melecehkan rasa keadilan masyarakat. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa sepanjang 2020-2024, kerugian negara akibat korupsi mencapai triliunan rupiah, sementara aset yang berhasil disita masih jauh dari jumlah tersebut.
Melalui perampasan aset, negara bisa mengembalikan dana yang dikorupsi untuk membiayai infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan—sektor-sektor yang langsung berdampak pada kesejahteraan rakyat. Misalnya, dana hasil korupsi yang disita dapat digunakan untuk membangun sekolah di daerah terpencil atau memperbaiki fasilitas rumah sakit. Ini adalah wujud keadilan distributif yang memastikan bahwa harta yang seharusnya milik rakyat kembali ke tangan mereka.
Selain itu, perampasan aset memiliki efek jera. Jika pelaku korupsi tahu bahwa kekayaan mereka akan dirampas, termasuk aset yang disembunyikan atas nama keluarga atau pihak ketiga, mereka mungkin berpikir dua kali sebelum bertindak. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Perampasan Aset, meski masih dalam tahap penyempurnaan, menjadi harapan baru untuk memperkuat mekanisme ini.
Dampak pada Keluarga dan Anak Pelaku
Namun, perampasan aset juga membawa konsekuensi sosial yang kompleks. Ketika aset keluarga dirampas, anak-anak pelaku sering kali menjadi korban tak langsung. Bayangkan seorang anak yang tiba-tiba harus pindah dari rumah mewah, kehilangan akses ke sekolah bergengsi, atau bahkan menghadapi stigma sosial karena perbuatan orang tua mereka. Apakah adil jika generasi muda yang tidak terlibat harus menanggung beban ini?
Beberapa pihak berargumen bahwa perampasan aset harus mempertimbangkan prinsip kemanusiaan. Misalnya, menyisakan sebagian aset untuk kebutuhan dasar keluarga, seperti tempat tinggal sederhana atau biaya pendidikan anak. Pendekatan ini diyakini dapat mencegah anak-anak pelaku jatuh ke dalam kemiskinan atau kehilangan kesempatan untuk masa depan yang lebih baik. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kemiskinan ekstrem masih menghantui 9,5% penduduk Indonesia pada 2024, dan menambah beban keluarga koruptor yang kehilangan aset bisa memperburuk statistik ini.
Namun, pendekatan kemanusiaan ini juga menuai kritik. Jika keluarga pelaku tetap menikmati kemewahan dari hasil korupsi, bukankah ini justru melemahkan efek jera? Publik mungkin memandang bahwa hukum masih memanjakan pelaku, yang pada akhirnya merusak kepercayaan terhadap sistem peradilan.
Menemukan Titik Tengah
Dilema ini menuntut solusi yang seimbang. Pertama, pemerintah perlu memperkuat mekanisme perampasan aset dengan memastikan bahwa hanya aset yang benar-benar terkait dengan korupsi yang disita. Teknologi pelacakan aset, seperti yang digunakan oleh Financial Action Task Force (FATF) di banyak negara, bisa membantu membedakan harta hasil kejahatan dan harta pribadi yang sah.
Kedua, negara bisa mengadopsi pendekatan yang melindungi anak-anak pelaku tanpa mengorbankan keadilan. Misalnya, mendirikan dana khusus dari aset sitaan untuk membiayai pendidikan anak-anak dari keluarga koruptor. Dengan cara ini, generasi muda tetap mendapat kesempatan untuk berkontribusi bagi bangsa, sementara keadilan bagi korban korupsi tetap terpenuhi.
Ketiga, edukasi antikorupsi harus digaungkan sejak dini. Anak-anak, termasuk mereka dari keluarga pelaku, perlu memahami bahwa integritas adalah nilai yang tak ternilai. Program seperti yang dijalankan KPK melalui “Generasi Bersih” bisa diperluas untuk menjangkau lebih banyak anak muda.
Perampasan aset adalah langkah krusial untuk memerangi korupsi, tetapi pelaksanaannya harus bijaksana. Keadilan bagi rakyat yang menjadi korban korupsi tidak boleh dikorbankan, namun masa depan anak-anak bangsa juga perlu dilindungi. Dengan regulasi yang tepat, teknologi canggih, dan pendekatan kemanusiaan, Indonesia bisa menemukan keseimbangan antara hukuman bagi pelaku dan harapan bagi generasi mendatang. Korupsi mungkin merampas harta rakyat, tetapi kebijakan yang adil dapat memastikan bahwa masa depan bangsa tetap utuh.