JAKARTA, uccphilosoph.com – Salah satu staf dari Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, mengungkapkan sebuah ritual unik yang dilakukan untuk tujuan spiritual. Ritual tersebut dikenal dengan istilah larung pakaian, yang diyakini sebagai cara untuk membuang sial atau energi negatif.Pernyataan ini muncul dalam sebuah diskusi internal, di mana staf tersebut membagikan pengalaman pribadi terkait ritual ini. Ia menjelaskan bahwa larung pakaian dilakukan dengan cara melarung atau menghanyutkan pakaian tertentu ke sungai atau laut sebagai simbol melepaskan hal-hal buruk dalam hidup.
Filosofi di Balik Ritual
Menurut staf tersebut, ritual larung pakaian memiliki makna mendalam:
- Simbol pelepasan energi negatif: Pakaian yang dilabuhkan dianggap membawa aura atau energi buruk yang perlu dilepaskan.
- Momen refleksi pribadi: Ritual ini juga menjadi kesempatan untuk merenungkan kesalahan atau kegagalan di masa lalu dan memulai langkah baru.
- Tradisi budaya lokal: Larung pakaian sering kali terinspirasi dari tradisi masyarakat Jawa yang percaya pada harmoni antara manusia dan alam.
“Ini bukan sekadar ritual biasa, tetapi juga bentuk introspeksi dan harapan agar kita bisa memulai sesuatu yang lebih baik,” ujar staf tersebut.
Reaksi Beragam dari Masyarakat
Pernyataan mengenai ritual larung pakaian ini memicu beragam reaksi di kalangan masyarakat. Sebagian orang menganggap hal ini sebagai bentuk kearifan lokal yang patut dilestarikan. Namun, ada juga yang mempertanyakan relevansi ritual semacam ini dalam konteks modern, terutama di dunia politik. Beberapa pihak di media sosial bahkan berspekulasi apakah ritual ini juga dilakukan oleh tokoh-tokoh besar di PDIP. Namun, hingga saat ini, belum ada konfirmasi mengenai keterlibatan Hasto Kristiyanto atau anggota partai lainnya dalam praktik tersebut.
Larung Pakaian Sebagai Bagian Budaya
Ritual larung pakaian tidak sepenuhnya asing di Indonesia. Tradisi serupa sering ditemukan di berbagai daerah, terutama di Jawa dan Bali, sebagai bagian dari upacara adat. Biasanya, masyarakat menggunakan ritual ini untuk menandai momen transisi, seperti pergantian tahun atau pemulihan dari masa sulit. Namun, penerapan ritual ini dalam konteks politik atau kehidupan profesional menjadi sesuatu yang tidak lazim dan memicu rasa penasaran publik.
Pernyataan staf Hasto PDIP mengenai ritual larung pakaian membuka diskusi menarik tentang hubungan antara budaya, spiritualitas, dan kehidupan modern. Apakah tradisi seperti ini masih relevan di era sekarang, atau justru menjadi pengingat pentingnya menjaga akar budaya kita?